Indonesia memiliki hutan tropis
terluas ketiga setelah Brazil dan Republik Demokratik Kongo. Luas kawasan
hutannya sekitar 120,4 juta ha atau sekitar 68% dari total luas wilayah daratan
(Baplan 2002). Hutan Indonesia merupakan habitat bagi spesies flora dan fauna
penting dunia. Tercatat Hutan Indonesia menjadi habitat bagi 17%
spesies burung, 16% reptile , 16% amphibi, 12% mamalia dan 10% tanaman di
dunia. Forest Watch Indonesia mencatat laju deforestasi
pada periode 2000-2009 adalah 1.515.892,66 Ha/tahun dengan luas deforestasi
yang mencapai 15.158.926,59 Ha (periode 2000-2009) serta tutupan hutan (forest
cover) Indonesia pada tahun 2009 yang hanya menyisakan sekitar 88.170.440,19 Ha
(FWI, 2011).
Organisasi Pangan dan Pertanian
(FAO) pada tahun 2010 memperkirakan bahwa luas tutupan hutan Indonesia
berkurang dari 118,5 juta ha pada tahun 1990 menjadi 94,4 juta ha pada tahun
2010 atau berkurang sekitar 24,1 juta hektar selama 20 tahun. Sekitar 77% dari
kawasan tersebut merupakan hutan tropis primer dengan keanekaragaman hayati dan
kepadatan karbon terbesar.
Sejarah
Sejarah pengelolaan hutan nasional
dibagi ke dalam lima periode, yaitu:
1. Periode
Pra-Pejajahan Hingga Pejajahan Belanda
Pada masa sebelum penjajahan
Belanda, pengelolaan kehutanan diatur oleh hukum adat masing-masing komunitas
adat masyarakat. Von Savigny menyatakan bahwa hukum mengikuti jiwa/semangat
rakyat (volkgeist) dari masyarakat dimana tempat hukum itu
berasal. Karena volkgeist masing-masing masyarakat berlainan,
maka hukum masing-masing masyarakat juga berlainan. Hukum yang dimaksudkan dan
dikenal pada masa itu adalah hukum adat.
2. Masa
kolonial hingga tahun 1945-an,
Deforestasi di Indonesia mempunyai
sejarah panjang, semasa penjajahan Belanda deforestasi terjadi karena kebijakan
yang mengijinkan penebangan hutan untuk kebutuhan konstruksi, pembuatan kapal,
ijin pembukaan lahan untuk kepentingan pertanian, yang memaksakan perubahan
fungsi hutan menjadi kebun tebu, kopi, nila dan karet (Mursidin et al. 1997).
Setelah lebih dari 200 tahun lamanya
hutan alam jati dieksploitasi secara besar-besaran oleh pemerintah Hindia
Belanda untuk memasok bahan baku industri-industri kapal kayu milik pengusaha
Cina dan Belanda. Sampai akhir abad ke-18 kondisi hutan jati di Jawa mengalami
degradasi yang sangat serius, sehingga mulai mengancam kelangsungan hidup
perusahaan-perusahaan kapal kayu yang mengandalkan pasokan kayu jati dari
kawasan hutan.
Selama masa penjajahan Jepang, tidak
ada usaha rehabilitasi hutan yang dilakukan, bahkan degradasi hutan semakin
meningkat dari tahun 1942 sampai 1945. Sebagian besar degradasi pada zaman
Jepang disebabkan oleh penebangan hutan jati dan hutan alam sebanyak dua kali
lipat jatah tebangan tahunan untuk membiayai perang, amunisi mesin perang,
menanam tanaman pangan untuk mencukupi persediaan makanan bagi tentara Jepang.
3. Tahun
1945 hingga tahun 1970-an (Masa Pemerintahan Orde Lama)
Sejak awal tahun 1950-an, pemerintah
Indonesia telah melaksanakan berbagai program rehabilitasi hutan dan lahan.
Kegiatan rehabilitasi yang pertama adalah Gerakan Karang Kitri, dimulai pada
bulan Oktober 1951 yang merupakan sebuah kampanye nasional atau himbauan kepada
masyarakat untuk menanam pohon di pekarangan rumahnya (Mursidin et al. 1997).
4. tahun
1960-an hingga tahun 1998-an,
Deforestasi menjadi masalah yang
serius pada awal tahun 1970-an; seiring dengan kebijakan pemerintah oder baru
untuk meningkatkan ekonomi nasional dengan mengeluarkan ijin penebangan kayu
untuk pengusaha di hutan Pulau Jawa. Selama tahun 1970-an, Indonesia
merupakan negara eksportir kayu tropis terbesar di dunia yang mengekspor
sekitar 300 juta m3 ke pasar internasional (Barr 2001). Pemerintah telah
mengalokasikan lebih dari 60 juta ha hutan kepada perusahaan HPH selama lebih
dari 30 tahun (Barr 2001).
Kebijakan over eksploitasi orde baru
tersebut mewariskan konflik-konflik yang berkepanjangan dan tidak berkesudahaan
atas pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan antara masyarakat local
dengan pemegang HPH, masyarakat local dengan pendatang, masyarakat local dengan
pemerintah. Konflik tersebut menjurus pada pecahnya Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
5. Tahun
1998 sampai sekarang
Tahun 1998 merupakan tahun penting
dalam perubahan politik di Indonesia. Setelah 32 tahun berkuasa, akhirnya
Rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto mundur, dan
berturut-turut (1998 – 2004) digantikan oleh Presiden
Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, dan Soesilo Bambang Yudoyono (2004 –
2009; 2009-2014). Pemerintahan baru ini dinamakan dengan Orde
Reformasi. Perubahan situasi politik ini diikuti semakin gencarnya
tuntutan dari masyarakat atas manfaat dari hutan, yang ditandai dengan
meningkatnya kasus perambahan dalam kawasan hutan (Scotland 2000; Potter dan
Lee 1998). Kasus konflik seperti tuntutan yang tumpang tindih atas sumberdaya
hutan antar kelompok masyarakat dan pemerintah daerah atau perusahaan kehutanan
sering terjadi hampir di setiap propinsi (Potter dan Lee, 1998).
Orde Reformasi berupaya menata kehidupan
berbangsa dan bernegara dengan melakukan reformasi konstutisi, legislasi,
birokrasi dan demokrasi. Sebagai dampak dari reformasi legislasi, maka banyak
peraturan perundang-undangan produk Orde Baru yang diganti dan disesuaikan
dengan semangat reformasi. Salah satunya adalah dicabut Undang-undang Nomor 5
Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, yang diganti dengan
diundangkannya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
(UUK). Selama awal era otonomi daerah, angka kerusakan hutan
meningkat dari 1,87 juta hektar menjadi 2,83 juta hektar. Pemerintah
daerah kabupaten/kota diberikan kesempatan yang lebih luas untuk mengelola
hutan yang ada di wilayahnya, di beberapa daerah terjadi ledakan pemberian izin
konsesi skala kecil yang mengakibatkan meningkatnya laju kerusakan hutan.
Komentar
Posting Komentar